Kata Pengantar
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman yang penulis miliki sangat kurang. Oleh kerena itu penulis mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar,
terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap di dalam tanah selama jutaan
tahun.
Batubara merupakan salah satu sumber energi fosil alternatif
yang cadangannya cukup besar di dunia. Bagi Indonesia, yang sumber energi
minyak buminya sudah semakin menipis, pengusahaan penggalian batubara sudah
merupakan suatu keniscayaan. Hampir setiap pulau besar di Indonesia memiliki
cadangan batubara, walau dalam kuantitas dan kualitas yang berbeda.
Tujuan eksplorasi adalah untuk mengidentifikasi keterdapatan,
keberadaan, ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas, serta kualitas suatu endapan
batu bara sebagai dasar analisis/kajian kemungkinan dilakukannya investasi.
B. Maksud
dan Tujuan
1. Maksud
-
Untuk mengetahui ganesa batubara.
-
Untuk mengetahui proses-proses eksplorasi batubara
2.
Tujuan
-
Menjelaskan
ganesa batubaru
-
Menjelaskan
proses-proses eksplorasi batubara
-
Menjelaskan
metode eksplorasi batubara
-
Menjelaskan
metode penambangan batubara
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Batubara
The
International Handbook of Coal Petrography (1963) menyebutkan bahwa batubara
adalah batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa tanaman dalam
variasi tingkat pengawetan, diikat proses kompaksi dan terkubur dalam
cekungan-cekungan pada kedalaman yang bervariasi.
Sedangkan
Prijono (Dalam Sunarijanto, dkk, 2008) berpendapat bahwa batubara adalah bahan
bakar hidrokarbon tertambat yang terbentuk dari sisa tumbuh-tumbuhan yang
terendapkan dalam lingkungan bebas oksigen serta terkena pengaruh temperatur
dan tekanan yang berlangsung sangat lama. Sedang menurut Undang-undang Nomor 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan bahwa ”batubara
adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa
tumbuh-tumbuhan.
Dari
berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa batubara adalah mineral
organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap
di dalam tanah selama jutaan tahun. Endapan tersebut telah mengalami berbagai
perubahan bentuk/komposisi sebagai akibat dari dari adanya proses fisika dan
kimia yang berlangsung selama waktu pengendapannya. Oleh karena itu, batubara
termasuk dalam katagori bahan bakar fosil.
Batubara
merupakan salah satu sumber energi fosil alternatif yang cadangannya cukup
besar di dunia. Bagi Indonesia, yang sumber energi minyak buminya sudah semakin
menipis, pengusahaan penggalian batubara sudah merupakan suatu keniscayaan.
Hampir setiap pulau besar di Indonesia memiliki cadangan batubara, walau dalam
kuantitas dan kualitas yang berbeda.
Terdapat dua model formasi pembentuk batubara (coal bearing
formation), yakni model formasi insitu dan model formasi endapan material
tertransportasi (teori drift). Berikut akan dijelaskan masing-masing model
formasi pembentuk batubara tersebut.
1).
Model Formasi Insitu
Menurut teori ini, batubara terbentuk pada lokasi dimana
pohon-pohon atau tumbuhan kuno pembentukya tumbuh. Lingkungan tempat tumbuhnya
pohon-pohon kayu pembentuk batubara itu adalah pada daerah rawa atau hutan
basah. Kejadian pembentukannya diawali dengan tumbangnya pohon-pohon kuno
tersebut, disebabkan oleh berbagai faktor, seperti angin (badai), dan peristiwa
alam lainnya. Pohon-pohon yang tumbang tersebut langsung tenggelam ke dasar
rawa. Air hujan yang masuk ke rawa dengan membawa tanah atau batuan yang
tererosi pada daerah sekitar rawa akan menjadikan pohon-pohon tersebut tetap
tenggelam dan tertimbun.
Demikianlah seterusnya, bahwa semakin lama semakin teballah
tanah penutup pohon-pohonan tersebut. Dalam hal ini pohon-pohon tersebut tidak
menjadi busuk atau tidak berubah menjadi humus, tetapi sebaliknya mengalami
pengawetan alami. Dengan adanya rentang waktu yang lama, puluhan atau bahkan
ratusan juta tahun, ditambah dengan pengaruh tekanan dan panas, pohon-pohonan
kuno tersebut mengalami perubahan secara bertahap, yakni mulai dari fase
penggambutan sampai ke fase pembatubaraan.
2)
Model Formasi Transportasi Material
(Teori Drift)
Berdasarkan teori drift ini, batubara terbentuk dari
timbunan pohon-pohon kuno atau sisa-sisa tumbuhan yang tertransportasikan oleh
air dari tempat tumbuhnya. Dengan kata lain pohon-pohon pembentuk batubara itu
tumbang pada lokasi tumbuhnya dan dihanyutkan oleh air sampai berkumpul pada
suatu cekungan dan selanjutnya mengalami proses pembenaman ke dasar cekungan,
lalu ditimbun oleh tanah yang terbawa oleh air dari lokasi sekitar cekungan.
Seterusnya dengan perjalanan waktu yang panjang dan
dipengaruhi oleh tekanan dan panas, maka terjadi perubahan terhadap pohon-pohon
atau sisa tumbuhan itu mulai dari fase penggambutan sampai pada fase
pembatubaraan.
Terdapat perbedaan tipe endapan batubara dari kedua formasi
pembentukan tersebut. Batubara insitu biasanya lebih tebal, endapannya menerus,
terdiri dari sedikit lapisan, dan relatif tidak memiliki pengotor. Sedangkan
batubara yang terbentuk atau berasal dari transportasi material (berdasarkan
teori drift) ini biasanya terjadi pada delta-delta kuno dengan ciri-ciri:
lapisannya tipis, endapannya terputus-putus (splitting), banyak lapisan
(multiple seam), banyak pengotor, dan kandungan abunya biasanya tinggi.
Dari kedua teori tentang formasi pembentukan batubara
tersebut di atas dapat diketahui bahwa kondisi lingkungan geologi yang
dipersyaratkan untuk dapat terjadinya batubara adalah: berbentuk cekungan
berawa, berdekatan dengan laut atau pada daerah yang mengalami penurunan
(subsidence), karena hanya pada lingkungan seperti itulah memungkinkan
akumulasi tumbuhan kuno yang tumbang itu dapat mengalami penenggelaman dan
penimbunan oleh sedimentasi. Tanpa adanya penenggelaman dan penimbunan oleh
sedimentasi, maka proses perubahan dari kayu menjadi gambut dan seterusnya
menjadi batubara tidak akan terjadi, malahan kayu itu akan menjadi lapuk dan
berubah menjadi humus.
Terdapat dua tahapan proses pembentukan batubara, yakni
proses penggambutan (peatification) dan proses pembatubaraan (coalification).
Pada proses penggambutan terjadi perubahan yang disebabkan oleh makhluk hidup,
atau disebut dengan proses biokimia, sedangkan pada proses pembatubaraan
prosesnya adalah bersifat geokimia.
Pada proses biokimia, sisa-sisa tumbuhan atau pohon-pohonan
kuno yang tumbang itu terakumulasi dan tersimpan dalam lingkungan bebas oksigen
(anaerobik) di daerah rawa dengan sistem drainase (drainage system) yang jelek,
dimana material tersebut selalu terendam beberapa inchi di bawah muka air rawa.
Pada proses ini material tumbuhan akan mengalami pembusukan, tetapi tidak
terlapukan. Material yang terbusukkan akan melepaskan unsur-unsur hidrogen (H),
Nitrogen (N), Oksigen (O), dan Karbon (C) dalam bentuk senyawa-senyawa: CO2,
H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya bakteri-bakteri anaerobik serta
fungi merubah material tadi menjadi gambut (peat). (Susilawati, 1992 dalam
Sunarijanto, 2008: 5).
Sedangkan pada proses pembatubaraan (coalification), terjadi
proses diagenesis dari komponen-komponen organik yang terdapat pada gambut.
Peristiwa diagenesis ini menyebabkan naiknya temperatur dalam gambut itu.
Dengan semakin tebalnya timbunan tanah yang terbawa air, yang menimbun material
gambut tersebut, terjadi pula peningkatan tekanan. Kombinasi dari adanya proses
biokimia, proses kimia, dan proses fisika, yakni berupa tekanan oleh material
penutup gambut itu, dalam jangka waktu geologi yang panjang, gambut akan berubah
menjadi batubara. Akibat dari proses ini terjadi peningkatan persentase
kandungan Karbon (C), sedangkan kandungan Hidrogen (H) dan Oksigen (O) akan
menjadi menurun, sehingga dihasilkan batubara dalam berbagai tingkat mutu
(Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto, 2008: 5).
Secara berurutan, proses yang dilalui oleh endapan sisa-sisa
tumbuhan sampai menjadi batubara yang tertinggi kualitasnya adalah sebagai
berikut:
1.
Sisa-sisa
tumbuhan mengalami proses biokimia berubah menjadi gambut (peat);
2.
Gambut
mengalami proses diagenesis berubah menjadi batubara muda (lignite) atau
disebut juga batubara coklat (brown coal);
3.
Batubara
muda (lignite atau brown coal) menerima tekanan dari tanah yang menutupinya dan
mengalami peningkatan suhu secara terus menerus dalam waktu jutaan tahun, akan
berubah menjadi batubara subbituminus (sub-bituminous coal);
4.
Batubara
subbituminus tetap mengalami peristiwa kimia dan fisika sebagai akibat dari
semakin tingginya tekanan dan temperatur dan dalam waktu yang semakin panjang,
berubah menjadi batubara bituminus (bitumninous coal);
5.
Batubara
bitumninus ini juga mengalami proses kimia dan fisika, sehingga batubara itu
semakin padat, kandungan karbon semakin tinggi, menyebabkan warna semakin hitam
mengkilat. Dalam fase ini terbentuk antrasit (anthracite);
6.
Antrasit,
juga mengalami peningkatan tekanan dan temperatur, berubah menjadi meta
antrasit (meta anthrasite);
7.
Meta
antrasit selanjutnya akan berubah menjadi grafit (graphite). Peristiwa
perubahan atrasit menjadi grafit disebut dengan penggrafitan (graphitization).
Dalam semua tingkatan pembentukan batubara itu terdapat
berbagai unsur yang sangat mempengaruhi peringkat mutu batubaranya dan sebagai
dasar pembagian klas penggunaannya. Secara garis besarnya dalam batubara
terdapat unsur-unsur:
-
Kandungan
air total (total moisture), yakni jumlah kandungan air yang ada pada fisik
batubara, yang terdiri dari air dalam batubara itu sendiri dan air yang terbawa
waktu melakukan penambangan.
-
Kandungan
air bawaan (inheren moisture), yakni air yang ada dalam batubara itu mulai saat
awal pembentukannya. Kadar air itu pada dasarnya akan mempengaruhi nilai
batubara, artinya semakin tinggi kandungan air, maka semakin rendahlah mutu
batubara tersebut.
-
Kandungan
zat terbang (volatile matter), adalah semua unsur yang akan menguap (terbang)
waktu batubara itu mengalami pemanasan. Volatile matter yang tinggi akan
menyebabkan mutu batubara jadi rendah, karena pada intinya volatile matter
tidak memberikan nilai kalor. Batubara dengan volatile matter tinggi, yang tertumpuk
pada stockpile, akan mudah mengalami swabakar, terutama pada udara lembab dan
adanya unsur pemicu oksidasi di dalamnya, seperti pirit dan sebagainya.
-
Total
sulphur (belerang), adalah salah satu unsur yang dapat menurunkan mutu
batubara, karena unsur belerang yang banyak akan menyebabkan rendahnya nilai
kalor dan dapat menyebabkan kerusakan pada dapur pembakaran, serta juga
menyebabkan adanya gas beracun.
-
Kandungan
abu (ash content), adalah sejumlah material yang didapat dari sisa pembakaran
batubara. Semakin tinggi kadar abu batubara, maka semakin rendahlah mutu
batubara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, abu ini berasal dari
material yang tidak dapat dioksidasi oleh oksgen.
-
Kandungan
karbon tertambat (fixed carbon), adalah persentase karbon yang ada pada suatu
satuan volume batubara. Semakin tinggi kadar karbon, maka semakin baguslah
kualitas batubara tersebut, karena yang paling berguna dari batubara itu adalah
karbon ini, karena karbonlah yang menghasilkan nilai kalori pada waktu dilakukan
pembakaran batubara.
-
Nilai
kalori (CV), adalah jumlah kalori yang dihasilkan per kg batubara yang dibakar.
Semakin tinggi nilai kalorinya, semakin baguslah mutu batubaranya.
B. Eksplorasi Batubara
Eksplorasi batubara umumnya
dilaksanakan melalui empat tahap, survei tinjau, prospeksi, eksplorasi
pendahuluan dan eksplorasi rinci. Tujuan penyelidikan geologi ini adalah untuk
mengidentifikasi keterdapatan, keberadaan, ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas,
serta kualitas suatu endapan batu bara sebagai dasar analisis/kajian
kemungkinan dilakukannya investasi. Tahap penyelidikan tersebut menentukan
tingkat keyakinan geologi dan kelas sumber daya batubara yang dihasilkan.
1. Survei Tinjau (Reconnaissance)
Survei
tinjau merupakan tahap eksplorasi Batu bara yang paling awal dengan tujuan
mengidentifikasi daerah-daerah yang secara geologis mengandung endapan batubara
yang berpotensi untuk diselidiki lebih lanjut serta mengumpulkan informasi
tentang kondisi geografi, tata guna lahan, dan kesampaian daerah. Kegiatannya,
antara lain, studi geologi regional, penafsiran penginderaan jauh, metode tidak
langsung lainnya, serta inspeksi lapangan pendahuluan yang menggunakan peta
dasar dengan skala sekurang-kurangnya 1 : 100.000.
Pada
tahap survei awal, pertama dilakukan survei formasi cool-bearing yang terbuka
secara alami dan beberapa pengeboran untuk mengetahui kedalaman dari lapisan
batubara kearah kemiringan dengan maksud memastikan deposit batubara yang
potensial. Kemudian akan berlanjut kepada teknik eksplorasi yang lebih tinggi
menggunakan mesin dan peralatan yang spesifik. Dalam bab ini akan dijelaskan
secar ringkas mengenai survei geologi permukaan yang merupakan dasar dari semua
survei geologi. Namun, lingkup penyelidikan perlu dikembangkan, tidak hanya
pada batubara itu sendiri, tetapi juga kepada penelitian lain seperti
penelitian sedimentologi batubara dan lingkungannya, penelitian palaentologi
fosil mikro dan mega, penelitian geokimia, penelitian struktur terhadap
fracture dan lain-lain.
2. Prospeksi (Prospecting)
Tahap
eksplorasi ini dimaksudkan untuk membatasi daerah sebaran endapan yang akan
menjadi sasaran eksplorasi selanjutnya. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini,
di antaranya, pemetaan geologi dengan skala minimal 1:50.000, pengukuran
penampang stratigrafi, pembuatan paritan, pembuatan sumuran, pemboran uji(scout
drilling), pencontohan dan analisis. Metode tidak langsung, seperti
penyelidikan geofisika, dapat dilaksanakan apabila dianggap perlu.
Logging
geofisik berkembang dalam ekplorasi minyak bumi untuk analisa kondisi geologi
dan reservior minyak. Logging geofisik untuk eksplorasi batubara dirancang
tidak hanya untuk mendapatkan informasi geologi, tetapi untuk memperoleh
berbagai data lain, seperti kedalaman, ketebalan dan kualitas lapisn batubara,
dan sifat geomekanik batuan yang menyrtai penambahan batubara.
Dan
juga mengkompensasi berbagai maslah yang tidak terhindar apabila hanya
dilakukan pengeboran, yaitu pengecekan kedalaman sesungguhnya dari lapisan
penting, terutama lapisan batubara atau sequence rinci dari lapisan batubara
termasuk parting dan lain lain.
3. Eksplorasi Pendahuluan
(Preliminary Exploration)
Tahap
eksplorasi ini dimaksudkan untuk mengetahui kuantitas dan kualitas serta
gambaran awal bentuk tiga-dimensi endapan batu bara. Kegiatan yang dilakukan
antara lain, pemetaan geologi dengan skala minimal 1:10.000, pemetaan
topografi, pemboran dengan jarak yang sesuai dengan kondisi geologinya,
penarnpangan(logging) geofisika, pembuatan sumuran/paritan uji, dan pencontohan
yang andal. Pengkajian awal geoteknik dan geohidrologi mulai dapat dilakukan.
4. Eksplorasi Rinci (Detailed
Exploration)
Tahap eksplorasi ini dimaksudkan untuk mengetahui kuantitas
clan kualitas serta bentuk tiga-dimensi endapan batu bara. Kegiatan yang harus
dilakukan adalah pemetaan geologi dan topografi dengan skala minimal 1:2.000,
pemboran, dan pencontohan yang dilakukan dengan jarak yang sesuai dengan
kondisi geologinya, penampangan (logging) geofisika, pengkajian geohidrologi,
dan geoteknik. Pada tahap ini perlu dilakukan pencontohan batuan, batubara dan
lainnya yang dipandang perlu sebagai bahan pengkajian lingkungan yang berkaitan
denqan rencana kegiatan penambangan.
C.
Metode Geofisika Batubara
Seiring dengan meningkatnya ilmu
pengetahuan dan teknologi maka hadirlah survey geofisika tahanan jenis yang
merupakan suatu metode yang dapat memberikan gambaran susunan dan kedalaman
lapisan batuan dengan mengukur sifat kelistrikan batuan. Loke (1999)
mengungkapkan bahwa survey geofisika tahanan jenis dapat menghasilkan informasi
perubahan variasi harga resistivitas baik arah lateral maupun arah vertical.
Metode ini memberikan injeksi listrik kedalam bumi, dari injeksi tersebut maka
akan mengakibatkan medan potensial sehingga yang terukur adalah besarnya kuat
arus (I) dan potensial (∆V), dengan menggunakan survey ini maka dapat
memudahkan para geologist dalam melakukan interpretasi keberadaan
cebakan-cebakan batubara dengan biaya eksplorasi yang relatif murah.
Logging geofisik berkembang dalam
ekplorasi minyak bumi untuk analisa kondisi geologi dan reservior minyak.
Logging geofisik untuk eksplorasi batubara dirancang tidak hanya untuk
mendapatkan informasi geologi, tetapi untuk memperoleh berbagai data lain,
seperti kedalaman, ketebalan dan kualitas lapisn batubara, dan sifat geomekanik
batuan yang menyrtai penambahan batubara. Dan juga mengkompensasi berbagai
masalah yang tidak terhindar apabila hanya dilakukan pengeboran, yaitu pengecekan kedalaman
sesungguhnya dari lapisan penting, terutama lapisan batubara atau sequence
rinci dari lapisan batubara termasuk parting dan lain lain.
Dari sekian banyak prinsip logging
yang ada, yang paling sering digunakan adalah resistansi listrik, kecepatan
gelombang elastis dan radioaktif. Untuk eksplorasi batubara, logging densitas adalah
yang paling efektif dan kombinasi logging densitas dan sinar gama adalah yang
direkomendasi untuk menentukan sifat geologi sekitar lapisan batubara. Setiap
logging mempunyai keistimewaannya masing-masing, oleh karena itu lebih baik
melakukan kombinasi logging untuk analisa menyeluruh.
D.
Metode Penambangan Batubara
1.
Metode Room And Pillar
Ini
adalah metode penambangan batubara yang menetapkan suatu panel atau blok
penambangan tertentu, kemudian menggali maju dua sistem (jalur) terowongan,
masing-masing melintang dan memanjang, untuk melakukan penambangan batubara
dengan pembagian pilar batubara. Metode penambangan ini terdiri dari metode
penambangan batubara yang hanya melalui penggalian maju terowongan, dan metode
penambangan secara berurutan terhadap pilar batubara yang diblok tadi, mulai
dari yang terdalam, apabila jaringan terowongan yang digali tersebut telah
mencapai batas maksimum blok penambangan. Kondisi yang menghasilkan efisiensI
tinggi metode ini telah dijelaskan.
Keunggulan metode penambangan
batubara sistem room dan pilar :
-
Lingkup
penyesuaian terhadap kondisi alam penambangan lebih luas dibanding dengan sistem lorong panjang yang dimekanisasi.
-
Hingga
batas-batas tertentu, dapat menyesuaikan terhadap variasi kemiringan (kecuali
lapisan yang sangat curam), tebal tipisnya lapisan batubara, keberadaan patahan
serta sifat dan kondisi lantai dan atap.
-
Mampu
menambang blok yang tersisa oleh penambang sistem lorong panjang, misalnya
karena adanya patahan.
-
Dapat
melakukan penambangan suatu blok yang berkaitan dengan perlindungan permukaan (seperti perlindungan bangunan
terhadap penurunan permukaan tanah).
-
Selain
itu, cukup efektif unyuk menaikkan recovery sedapatnya, pada blok yang tidak
cocok ditambang semua, misalnya penambangan bagian dangkal di bawah dasar laut.
Kelemahan metode penambangan
batubara sistem ruang dan pilar :
-
Recovery
penambangan batubara yang sangat buruk. (sekitar enam puluh sampai tujuh puluh
persen).
-
Bila
dibandingkan dengan metode penambangan batubara sistem lorong panjang, banyak
terjadi kecelakaan, seperti atap ambruk.
-
Ada
batas maksimum penambangan bagian dalam, yang antara lain disebabkan oleh
peningkatan tekanan bumi (batasnya sekitar lima ratus meter di bawah permukaan
bumi).
-
Karena
banyak batubara yang disisakan, akan meninggalkan masalah dari segi keamanan
untuk penerapan di lapisan batubara yang mudah mengalami terbakar.
-
Tadinya,
recovery metode penambangan batubara sistem ruang dan pilar sangat rendah,
namun akhir-akhir ini ada juga tambang batubara yang berhasil menaikkan
recoverynya.
2. Metode Longwall
Metode
penambangan ini adalah metode penambangan batubara yang digunakan secara luas
pada penambangan bawah tanah.
Ciri-ciri metode penambangan
batubara sistem longwall:
-
Recoverynya
tinggi, karena menambang sebagian besar batubara.
-
Permukaan
kerja dapat dipusatkan, karena dapat berproduksi besar di satu permuka kerja.
-
Pada
umumnya, apabila kemiringan landai, mekanisasi penambangan, transportasi dan
penyanggaan menjadi mudah, sehingga dapat meningkatkan efisiensi penambangan
batubara.
-
Karena
dapat memusatkan permuka kerja, panjang terowongan yang dirawat terhadap jumlah
produksi batubara menjadi pendek.
-
Menguntungkan
dari segi keamanan, karena ventilasinya mudah dan swabakar yang timbul juga
sedikit.
-
Karena
dapat memanfaatkan tekanan bumi, pemotongan batubara menjadi mudah.
-
Apabila
terjadi hal-hal seperti keruntuhan permuka kerja dan kerusakan mesin, penurunan
produksi batubaranya besar.
Tambang
longwall harus dilakukan dengan membuat perencanaan yang hati-hati untuk
memastikan adanya geologi yang mendukung sebelum dimulai kegiatan penambangan.
Kedalaman permukaan batu bara bervariasi di kedalaman 100-350m. Penyangga yang
dapat bergerak maju secara otomatis dan digerakkan secara hidrolik sementara
menyangga atap tambang selama pengambilan batu bara. Setelah batu bara diambil
dari daerah tersebut, atap tambang dibiarkan ambruk. Lebih dari 75% endapan
batu bara dapat diambil dari panil batu bara yang dapat memanjang sejauh 3 km
pada lapisan batu bara.
Keuntungan
utama dari tambang room and pillar daripada tambang longwall adalah, tambang
room and pillar dapat mulai memproduksi batu bara jauh lebih cepat, dengan
menggunakan peralatan bergerak dengan biaya kurang dari 5 juta dolar (peralatan
tambang longwall dapat mencapai 50 juta dolar). Pemilihan teknik penambangan
ditentukan oleh kondisi tapaknya namun selalu didasari oleh pertimbangan
ekonomisnya; perbedaan-perbedaan yang ada bahkan dalam satu tambang dapat
mengarah pada digunakannya kedua metode penambangan tersebut.
3. Metode Shortwall
Metode
ini merupakan penggabungan dari metode room and pillar dan metode lognwall.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar,
terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap di dalam tanah selama jutaan
tahun.
2.
Eksplorasi
batubara umumnya dilaksanakan melalui empat tahap, survei tinjau, prospeksi,
eksplorasi pendahuluan dan eksplorasi rinci
3.
Metode
penambangan batubara dibagi menjadi 3 yaitu metode room and pillar, metode longwall dan metode shortwall
DAFTAR PUSTAKA
http://tambangunp.blogspot.com/2013/12/proses-pembentukan-batubara-ganesa.html
Susilawati. 1992. Coal. Http:
// koin-indonesia.com
0 Komentar untuk "Tugas Makalah Ganesa dan Ekplorasi Batubara"
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.